Dari Amirul mukminin, Abu Hafsh, Umar bin Khaththab ra. berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam bersabda : ”Segala perbuatan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan (pahala) dari apa yang diniatkannya. Barangsiapa berhijrah untuk mencari ridha Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa berhijrah untuk mencari dunia atau untuk seorang perempuan yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya hanya untuk itu (tidak mendapat pahala di sisi Allah)”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Para ulama memasukkan hadits niat ini di awal pembahasan kitab – kitab mereka. Hal ini dilakukan tentu bukan tanpa maksud dan tujuan. Bahkan hadits ini masuk dalam 70 bab masalah fiqh. Imam Syafi'i rahimahullahu mengatakan bahwa hadits ini merupakan sepertiga dari ilmu. Dan Imam Abu Dawud rahimahullahu bahkan mengatakan bahwa ia adalah separuh dari agama. Abdullah Bin Mubarak berkata : “Berapa banyak amal yang besar menjadi kecil karena niatnya, dan berapa banyak amalan yang remeh menjadi besar karena niatnya”.
Jika demikian halnya, keberadaan niat begitu berarti bagi sebuah amalan. Maka, niat menjadi hal pokok yang multifungsi. Di antara fungsi – fungsi tersebut adalah :
a. Menyempurnakan dan Mengesahkan.
Tanpa niat yang jelas, sebuah amal tidaklah sempurna, tidak bernilai di sisi Allah. Menurut jumhur ulama, “innamal a'malu binniat” maksudnya adalah “innamaa sihhatul a'maal” : syarat sahnya sebuah amalan. Dan sebagian ulama menegaskan “innamal a'malu binniat” maksudnya sebagai “innamaa kamalul a'maal” : sesungguhnya kesempurnaan amal dengan niat. Jadi, niat menjadi rukun sebuah ibadah, tidak ada ibadah tanpa niat.
b. Mengubah dan Menjadikan.
Niat yang buruk bisa mengubah suatu amal yang baik menjadi buruk. Misalnya, shadaqah adalah sebuah amal yang baik, tapi bila dilakukan untuk pamrih tertentu seperti jabatan, sanjungan, kedudukan, popularitas, maka gugurlah nilainya. Tetapi kaidah ini tidaklah berlaku sebaliknya. Sebuah amal yang buruk tidak bisa berubah menjadi amal yang baik hanya karena niat baik pelakunya. Seorang durhaka, tak bisa menjadikan kedurhakaannya sebagai amal shalih, karena ia meniatkannya untuk sebuah kebaikan. Korupsi, mencuri, merampok, riba, dan maksiat lainnya tidaklah menjadi benar dengan niat dan tujuan ibadah. “Bismillah, nawaitu korupsi lillahi ta'ala..”, ini jelas adalah sebuah kedunguan yang nyata.
Hal ini karena kaidah ushul mengatakan : “al ghayah laa tubarriru al washilah” ; tujuan yang baik tidak menghalalkan segala cara. Jadi, niat dan tujuan yang baik haruslah dilakukan dengan cara yang baik pula. Bukankah Rasul kita yang mulia shallalhu 'alaihi wasaalam pernah bersabda : “Sesungguhnya allah mewajibkan kebaikan atas segala sesuatu” (HR. Muslim) ?.
Begitu pula, niat yang buruk bisa menjadikan suatu yang halal menjadi haram, yang mubah pun menjadi haram. Ketika seorang mengkonsumsi makanan yang halal dan proses memakannya pun merupakan perkara yang mubah, dapat berubah menjadi haram jika ia maksudkan sebagai “nutrisi” menguatkan tulang dan sendinya untuk bermaksiat, yang jika tanpa makan dan minum ia tak mampu menjalankan “aksinya”.
c. Menguatkan.
Dengan niat, amal menjadi kuat, komitmen menjadi kokoh, motivasi menjadi dahsyat, badan yang lemas menjadi kuat. Itulah niat yang kuat, berubah menjadi sebuah 'azam yang bulat, sebagaimana firman Allah Ta'ala, artinya : “Apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah” (QS. Ali Imran : 159).
Seorang dilanda lapar dan dahaga yang amat saat berpuasa. Jika bukan karena niat puasa, mengharapkan pahala dan ganjaran dari Allah Maha Pemberi Perhitungan, jiwanya akan gelisah mencari jalan untuk segera memenuhi “keroncongan” perutnya. Tapi karena ia telah memasang niat bulat berpuasa saat sahur bahkan ketika malamnya, maka ia kuat menjalaninya. Bukan hanya itu, berbekal niat yang bulat, iapun mampu untuk kuat saat menjalankan ketataan, sabar dalam menjauhi maksiat dan hal – hal yang dapat merusak puasanya padahal sebagiannya halal baginya, tegar menghadapi godaan, dan seterusnya.
Maka, mari kita perbaharui niat dalam setiap amalan. Sampai pada setiap derap langkah agar amalan dapat langgeng dan tuntas karena kuatnya jiwa menjalaninya.
d. Membedakan.
Niat itu pula yang dapat membedakan antara ibadah dan adat, antara ibadah dan aktivitas yang nilainya tak lebih dari sekesar rutinitas belaka. Dengan niat, dua jenis amal yang nampaknya sama menjadi beda, kualitasnya apalagi nilainya di sisi Allah Subhaanahu Wata'ala. Adat, kebiasaan dan rutinitas menjadi sesuatu yang bebarti ketika hal itu diniatkan untuk ibadah. Seseorang yang memasuki masjid dengan mendahulukan kaki kanan, sekali waktu dengan kaki kirinya, karena kebiasaan dan rutinitias maka tidak bernilai apa- apa. Tapi ketika ia masuk masjid dengan mendahulukan kaki kanannya, dengan kesadaran dan niat untuk menigkuti sunnah Rasulullah shallalhu 'alaihi wasallam maka saat itu pula aktivitasnya berubah menjadi sebuah ibadah yang tinggi nilainya. Seorang shalih , Zubaid Al Yamy berkata : “Sunguh, aku benar – benar suka jika ada niat dalam segala sesuatu, termasuk pula tatkala makan dan minum”. Kata beliau juga : “Berniatlah dalam segala kebaikan yang engkau kehendaki, termasuk tatkala engkau ingin menyapu”.
Itu di dunia. Sampai di akhirat nanti, ketika setiap hamba dibangkitkan oleh Allah Sang Kuasa, fungsi ini amatlah berperan. Betapa tidak, setiap hamba akan dibangkitkan (baca : dimintai pertanggungan jawab) dalam keadaan yang berbeda – beda, sesuai dengan niat – niat mereka. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah shallalahu 'alaihi wasallam menceritakan kepada Aisyah radhiallahu 'anha, istinya, beliau bersabda : “ Suatu pasukan tentara akan menyerang ka’bah. Ketika tiba di suatu tanah lapang, mereka semua dibenamkan (ke tanah).” Aisyah bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa mereka dibinasakan semua. Padahal, diantara mereka terdapat kaum awam (yang tidak mengerti persoalan) dan orang-orang yang bukan golongan mereka (mereka ikut karena dipaksa)?” Rasulullah bersabda,”Mereka semua dibinasakan. Kemudian mereka dibangkitkan (pada hari kiamat) sesuai niat mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
e. Membesarkan.
Niat membuat sesuatu yang sederhana menjadi besar. Ada sebuah fenomena yang menarik. Di Masjid Wihdatul Ummah, Makassar, diadakan ta'lim secara rutin setiap pekan. Majelis ini selalu dipenuhi oleh jama'ah, dari kalangan remaja, dewasa hingga manula, yang begitu antusias dan menyesaki ruangan masjid yang sebenarnya cukup luas. Ada kebiasaan yang mungkin tidak dihiraukan oleh kebanyakan jama'ah. Padahal jika dicermati, kebiasaan seperti ini adalah suatu yang tak biasa, darinya dapat terungkap sebuah kebesaran jiwa dan tujuan. Apa itu? Parkir gratis. Ya, penyediaan jasa parkir motor setiap jama'ah, tanpa dipungut biaya sebagai balas jasa. Sebuah hal yang jarang didapati kecuali pada tempat – tempat umum, biasa, dan menjajikan “uang”. Setiap motor disusun dengan rapi, dan yang pasti aman, karena panitia masjid menyiapkan “pasukan khusus” untuk menjaganya. Setiap jama'ah tidak lagi terusik dengan kecemasan akan keamanan motornya, sehingga merasa nyaman dan tenang menyimak mutiara ilmu dari sang ustadz. Fenomena ini jelas hal yang sederhana dan tidak sebesar dan semegah jihad. Tetapi, Insya Allah dengan niat untuk ibadah dari para “pelakunya”, maka iapun menjadi sebuah yang besar. Setidak-tidaknya, motor jama'ah yang tersusun rapi, menggambarkan ukhuwah islamiyah, kekokohan bangunan kaum muslimin sebagai “shaffan ka'annahum bunyanun marshush..”. Begitu pula, motor jama'ah yang tersusun rapi seperti itu, membawa dampak psikologis bagi jam'ah sehingga mereka rajin menghadiri majelis ilmu, khususnya di tempat itu. Dan yang lebih besar lagi, kenampakan seperti ini bisa “menggetarkan” musuh – musuh Allah yang dengannya agama Allah bisa menang di atas agama lainnya, sebagaimana firmanNya, artinya : “ … menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya... ” (QS. Al Anfal : 60).
Jadi, niat yang besar, sungguh menjadikan pemiliknya “besar” di dahapan Allah. Sehingga kita patut untuk mengatakan : “Laa tahkiranna minal ma'rufi syai'an … “ karena “ kullu ma'rufin shadaqah...” : Jangan meremehkan sebuah kebaikan (sekecil apapun itu) karena setiap kebaikan bernilai shadaqah.
f. Melipatgandakan.
Sebenarnya fungsi ini sama dengan fungsi terdahulu yakni membesarkan. Tetapi, fungsi ini perlu untuk di-ta'qid (dikuatkan) kembali. Bagaimana niat bisa melipatgandakan (pahala) amalan? Ya, jelas bisa. Dalam dakwah, seorang melakukan kerja – kerja dakwah yang ia niatkan untuk kemashlahatan umat secara umum, tentu ia merupakan hal yang bisa melipatgandakan pahala di sisi Allah, meskipun yang empunya niat telah meninggal dunia. Bukakankah Rasul kita yang mulia shallallahu 'alaihi wasallam telah mengajarkan kita bagaimana cara “membuka rekening royalti” kebaikan yang abadi? Yakni, mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada manusia, sehingga ilmu tersebut diamalkan oleh manusia. Kemudian pahala atas amal manusia juga “ditransfer” kepada mereka yang telah mengajarkannya.
Begitulah, niat adalah hal yang pokok dengan segenap fungsinya, begitu berarti bagi setiap kita. Niat akan menentukan seseorang beruntung atau celaka, diterima atau ditolak, kecil atau besar. Dan ingatlah bahwa niat yang baik (baca : IKHLAS) tidaklah cukup, melainkan ia mesti disandingkan dengan amalan yang baik pula (baca : ITIBA'URRASUL (mengikuti sunnah nabi)). Hal ini tidak lain agar sebuah amalan tidak “menguap”, karena ia tertolak di sisi Allah Rabbul 'Alamin. Wallahu A’lam. (abumujahid)
Bahan Bacaan : Zero to Hero, Solikhin Abu Izzuddin dan beberapa artikel lainnya.
Rindu Anak Sulung
1 month ago
0 comments:
Post a Comment